Slametan, Budaya yang Merekatkan Kekeluargaan

Slametan berasal dari kata slamet yang dalam Bahasa Jawa yang berarti terhindar dari malapetaka. Kata slamet atau selamat ini diambil dari Bahasa Arab yaitu salamah yang memiliki arti selamat, bahagia dan sentosa. Sementara itu, menurut Clifford Geertz, slamet dapat diartikan sebagai ora ana apa-apa (tidak ada apa-apa). Oleh karena itu, kata Slametan dapat dimaknai sebagai upacara do’a bersama kepada Tuhan untuk memohon agar dilepaskan dari insiden-insiden yang tidak dikehendaki.

Slametan adalah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat suku Jawa, Sunda dan Madura dalam rangka memanjatkan do’a kepada Allah sebagai bentuk permintaan untuk mendapatkan keselamatan dan perlindungan. Acara ini dipimpin oleh seorang modin yang merupakan seorang imam atau pemuka agama di lingkungan sekitar. Kegiatan ini dilaksanakan dengan duduk bersila diatas tikar dan melingkari nasi tumpeng dan lauk pauk. Setelah do’a bersama selesai, acara ditutup dengan makan bersama dan ramah tamah.

Baca Juga : Sembunyikan Media (Foto & Video) WhatsApp dari Gallery Hape Kalian

Jenis Slametan

Menurut Clifford Geertz, selametan yang biasa diselenggarakan oleh orang Jawa dapat dikelompokkan menjadi 4 jenis, yaitu :

  1. Slametan atas kehidupan, contohnya seperti Kelahiran, Kematian, Pernikahan, Khitanan, dsb.
  2. Slametan atas perayaan hari Islam seperti Menyambut Datangnya Ramadhan (Megengan), Menyambut Hari Raya Idul Fitri dan slametan Hari Lahir Nabi Muhammad SAW (Muludan).
  3. Slametan sosial Bersih Desa
  4. Slametan atas kejadian tidak biasa (Kesembuhan dari Penyakit, Pindah Tempat Tinggal, Mengubah Nama, dsb).

Budaya Gotong Royong

Slametan umum diselenggarakan secara gotong royong baik itu dalam lingkup keluarga maupun lingkup sosial masyarakat. Dalam lingkup keluarga, keluarga pelenggara slametan akan dibantu oleh sanak saudara selama persiapan hingga hari H dilaksanakan. Dukungan dari saudara biasanya berupa bantuan tenaga dalam memasak makanan untuk selametan dan mempersiapkan tempat acara. Ada juga bantuan lain seperti bahan baku masakan, pinjaman alat, dan bantuan secara finansial. Tentunya, bantuan yang bersifat materil seperti ini bukan sebuah kewajiban namun lebih merupakan bentuk kerelaan dari setiap individu yang ingin ikut serta membantu acara.

Mempererat Kekeluargaan

Selametan sebagai acara do’a bersama umumnya mengundang keluarga dekat dan juga tetangga sekitar rumah. Oleh karena itu kegiatan ini terasa sangat intim dan dapat mempererat tali persaudaraan, tidak hanya persaudaraan dengan saudara sedarah, namun juga persaudaraan dengan tetangga sekitar. Gotong royong yang disebut menjadi karakter rakyat Indonesia tercermin dengan baik melalui budaya slametan ini. Membantu keluarga dan tetangga yang memiliki hajat serta ikut mendoakan merupakan suatu budaya positif yang layak untuk dipertahankan. Disamping itu, meski selametan tampak sangat kental dengan agama Islam, kegiatan ini juga dilakukan oleh masyarakat Jawa yang beragama selain Islam. Yang membedakan tentu pada prosesi do’a bersama yang disesuaikan dengan kepercayaan masing-masing.

Baca Juga : Cara Cepat Update Aplikasi Windows Dengan CMD / PowerShell / Terminal

Slametan memang sudah menjadi budaya penduduk pulau Jawa sejak zaman animisme-dinamisme. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, budaya ini terus menyebar dan berkembang mengikuti zaman. Pada masa masuknya agama di pulau Jawa, kegiatan do’a bersama ini tetap dilaksanakan, namun dengan penyesuaian sesuai tuntunan dari agama yang dianut masing-masing.

Slametan Menurut Nahdlatul Ulama (NU)

Berdasarkan kajian yang dirilis oleh Nahdatul Ulama, slametan merupakan kegiatan yang tidak melanggar hukum Islam selama dilaksanakan dengan niatan yang baik dan dilaksanakan sesuai tuntunan Islam. Untuk penjelasan lebih rinci dan lebih lengkapnya, silahkan baca artikel dari NU Online berikut ini : Hukum Tahlilan Menurut Mazhab Empat. Pada artikel tersebut dijelaskan mazhab apa saja yang mendukung dilaksanakannya Selametan / Tahlilan / Syukuran. Budaya pada selametan untuk orang meninggal seperti membacakan surat Al-Fatihah, Yasin, Tahlilan serta sedekah makanan ternyata diperbolehkan. Dan, melakukan kegiatan tersebut pada hari-hari tertentu seperti 7 hari berturut-turut setelah kepergian anggota keluarga, hari ke 40, hari ke-100, dan hari ke-1000 juga diperbolehkan menurut kajian dari NU.

Dukung blog ini lewat trakteer.id/RenoArifigar

Referensi :


Ingin berkomentar?